Pejuang Media. Yogyakarta. Indonesia baru saja menyelasaikan Pemilihan umum (Pemilu) dimana negeri ini merupakan negeri terbesar ke-3 dunia yang baru saja melaksanakannya, sebagai negara dengan penduduk terpadat ke-4 yang menggelar
pemilu. China sebagai negara dengan penduduk terpadat tak mengadakan
pemilu secara langsung.
Quick count atau hitung cepat telah dilakukan. Hasilnya ada yang jatuh terjungkal, ada yang naik melesat. Perolehan suara Demokrat turun drastis tahun ini dibanding Pemilu 2009. Sementara Gerindra merangkak lumayan jauh.
Pada 2009, Demokrat meraih suara tertinggi, yakni 20,85%. Sedangkan tahun ini, partai berlambang mercy itu hanya meraih sekitar 9,6 % berdasarkan hasil sejumlah quick count. Turun sekitar 11%. Suaranya anjlok tajam dibanding sebelumnya, meski masih masuk 4 besar partai dengan suara tertinggi.
Pengamat politik, Denny JA menilai, masalah korupsi terutama yang terkait Bank Century disebut-sebut sebagai salah satu penyebab hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap Demokrat. Ditambah juga ada beberapa elite partai yang menjadi tersangka korupsi.
"Kasus Century sampai saat ini belum selesai, apalagi kasus ini selalu dikaitkan dengan biaya pemilu 2009," kata Denny di kantornya, Jakarta, Rabu (9/4/2014).
Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) itu menambahkan, sebagai imbas dari kasus tersebut, para pemilih memutuskan untuk beralih ke partai lain.
Dijelaskan dia, dulu, Partai Demokrat mengambil suara di kantong-kantong partai lain seperti PDIP dan Golkar. Suara itu kembali ke 'kampung halamannya' pada pemilu 2014. Kini pemilih Demokrat 'mudik' ke partai yang dipilih sebelumnya.
"Para pemilih sekarang pulang kandang. Jadi, otomatis suara Demokrat menurun," lanjutnya.
Hal itu juga didukung karakter pemilih Indonesia yang didominasi situasi terbaru. Pada 2009 SBY memang sangat disukai masyarakat, sehingga elektabilitas mencapai 60%. Sekarang, SBY nyatanya sudah tak lagi disukai.
"Dari sini juga terbukti opini publik itu berubah tergantung situasi. Dulu suka SBY sekarang tidak," tandas Denny.
Efek Prabowo
Dibanding Demokrat, nasib Gerindra sebaliknya. Partai berlambang kepala garuda itu berhasil meraup suara lebih besar, yakni sekitar 11,8%, jauh lebih besar dari suara pada Pemilu 2009 sebesar 4,46%. Naik sekitar 7% dari sebelumnya.
Direktur Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menilai, peran Prabowo yang terus memobilisasi diri dalam mencari simpati masyarakat dinilai cukup efektif. Sering tampilnya Prabowo di berbagai media membuat partai yang dipimpinnya turut terangkat.
"Mobilisasi Prabowo sebagai pimpinan partai sangat baik. Lewat iklan dan mesin politik di bawah cukup baik," kata Denny, 9 April 2014.
Karakter pribadi Prabowo juga dinilai punya andil untuk menarik simpati masyarakat. Denny menilai karakter tegas Prabowo sangat dirindukan masyarakat dibanding dengan sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang terkesan kehilangan ketegasan sebagai seorang purnawirawan TNI.
"Dia (Prabowo) punya hal yang hilang semasa kepemimpinan SBY. Kesan tegas dan berani tidak tampak. Kehampaan itulah yang ada pada dia," imbuh Denny.
Hal senada juga disampaikan Direktur Riset Indikator Hendro Prasetyo. Dia mengatakan, Gerindra bisa menjadi parpol besar karena ada pengaruh Prabowo
"Ada pengaruh Prabowo karena selain ia dinilai bersih, masyarakat mendambakan pemimpin tegas yang siap menegakkan hukum. Itu dilekatkan sekali dengan Prabowo," ujar Hendro, 9 April 2014.
Ketokohan Prabowo yang menjadi magnet suara, karena masyarakat juga merasa tak puas dengan Pemerintahan SBY yang kurang tegas. Hal ini tak melihat latar belakang 2 tokoh itu yang pernah menjadi petinggi di dunia militer.
"Pemerintahan SBY yang jenderal saja bisa tidak tegas. Artinya nggak harus militer, tapi memang masyarakat melihat sosok pribadi Prabowo," tegas Hendro.
Golkar Stabil, PDIP Naik
Partai yang pernah berkuasa 32 tahun, Golkar meraih suara stabil dari pemilu sebelumnya. Pada 2004, Golkar meraih 14,45%. Kini berdasarkan hasil sejumlah quick count, suara Golkar berkisar 14,4%.
Menurut Ketua Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Philips J Vermonte, suara Golkar stabil karena institusi dan kelembagaannya lebih terkonsolidasi.
"Golkar selalu. Kalau tidak juara 1 ya juara 2. Di 2009 Golkar juara 2, di 2004 Golkar juara 1. Golkar menjadi juara karena selalu jadi kekuatan dominan di parlemen. Meski dihujat habis-habisan, tapi tetap juara 2," ujar Philips.
Efek Jokowi terbukti tidak berpengaruh. Pada Pemilu 2009, partai berlambang banteng bermoncong putih meraih 14,03%. Kini partai pimpinan Megawati Soekarnoputri memperoleh sekitar 19%, namun bukan lantaran keeradaan Jokowi, namun mundurnya kepopuleran partai pesaing. Menurut Denny JA dari LSI mengatakan, efek Jokowi justru tidak bertahan lama dalam mendongkrak suara PDIP. Sebab prediksi PDIP raih 20% lebih tak terbukti.
Suara PDIP dinilai menurun sejak Jokowi diberikan mandat sebagai capres. Tergerusnya suara Jokowi dipicu banyak hal, di antaranya kampanye negatif. "Ini era Jokowi mengalami penggembosan. Dan terbukti untuk pertama kalinya suara Jokowi turun," kata Denny.
Menurut Denny penurunan elektabilitas Jokowi dimulai Maret 2014, saat Gubernur DKI Jakarta itu mendeklarasikan diri siap menjadi capres PDIP. Sejak itu, opini publik terhadap Jokowi berubah.
"Ada 2 penyebabnya, Jokowi dinilai mengingkari janji dan ada videonya. Kedua kasus pengadaan busway. Apalagi kalau kejagung mengeksplor kasus ini terus sampai akhirnya memanggil Jokowi," lanjut Denny.
Sementara menurut Phillips, "Jokowi effect tidak terlalu berpengaruh karena mereka lebih memilih partai. Saya rasa ini menandakan demokrasi kita sudah jauh lebih berkembang."
Peluang Poros Tengah
Sama seperti Golkar, suara sejumlah partai Islam stabil. Dari hasil quick count, suara PKS turun sedikit, dari 7,88% pada 2009 menjadi sekitar 6,9%. PAN dari 6,01% menjadi 7,53%.
Sementara perolehan suara PPP naik dari 5,32% pada 2009 menjadi 6,25% pada 2014. Suara PKB meningkat cukup besar dari 4,94% menjadi sekitar 8,87%.
Pengamat politik dari FISIP UIN Andar Nubowo mengatakan, hasil ini bisa memicu kembalinya poros tengah atau koalisinya partai Islam pada 2009. Dengan rata-rata total penggabungan suara partai Islam yang bisa mencapai 29%, poros tengah bisa terjadi.
"Malah bisa mungkin membangun koalisi semacam poros tengah dengan suara 29%," ujarnya.
Akan tetapi, apabila tidak tercipta koalisi poros tengah, maka partai-partai Islam tersebut akan menjadi rebutan koalisi partai 3 besar, yakni PDIP, Golkar, dan Gerindra.
"Jika tidak tercipta Koalisi Poros Tengah, Partai Golkar atau Gerindra bisa bersaing dengan PDIP dalam mengambil alih atau mengajak koalisi partai-partai Islam," tandas Andar.
Ada partai yang terjungkal. Ada yang melesat. Ada yang stabil. Kira-kira seperti apa hasil Pemilihan Legislatif 2014? Partai mana yang akan 'memegang' pemerintahan, dan siapa presiden terpilihnya? Kita lihat saja nanti.
Quick count atau hitung cepat telah dilakukan. Hasilnya ada yang jatuh terjungkal, ada yang naik melesat. Perolehan suara Demokrat turun drastis tahun ini dibanding Pemilu 2009. Sementara Gerindra merangkak lumayan jauh.
Pada 2009, Demokrat meraih suara tertinggi, yakni 20,85%. Sedangkan tahun ini, partai berlambang mercy itu hanya meraih sekitar 9,6 % berdasarkan hasil sejumlah quick count. Turun sekitar 11%. Suaranya anjlok tajam dibanding sebelumnya, meski masih masuk 4 besar partai dengan suara tertinggi.
Pengamat politik, Denny JA menilai, masalah korupsi terutama yang terkait Bank Century disebut-sebut sebagai salah satu penyebab hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap Demokrat. Ditambah juga ada beberapa elite partai yang menjadi tersangka korupsi.
"Kasus Century sampai saat ini belum selesai, apalagi kasus ini selalu dikaitkan dengan biaya pemilu 2009," kata Denny di kantornya, Jakarta, Rabu (9/4/2014).
Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) itu menambahkan, sebagai imbas dari kasus tersebut, para pemilih memutuskan untuk beralih ke partai lain.
Dijelaskan dia, dulu, Partai Demokrat mengambil suara di kantong-kantong partai lain seperti PDIP dan Golkar. Suara itu kembali ke 'kampung halamannya' pada pemilu 2014. Kini pemilih Demokrat 'mudik' ke partai yang dipilih sebelumnya.
"Para pemilih sekarang pulang kandang. Jadi, otomatis suara Demokrat menurun," lanjutnya.
Hal itu juga didukung karakter pemilih Indonesia yang didominasi situasi terbaru. Pada 2009 SBY memang sangat disukai masyarakat, sehingga elektabilitas mencapai 60%. Sekarang, SBY nyatanya sudah tak lagi disukai.
"Dari sini juga terbukti opini publik itu berubah tergantung situasi. Dulu suka SBY sekarang tidak," tandas Denny.
Efek Prabowo
Dibanding Demokrat, nasib Gerindra sebaliknya. Partai berlambang kepala garuda itu berhasil meraup suara lebih besar, yakni sekitar 11,8%, jauh lebih besar dari suara pada Pemilu 2009 sebesar 4,46%. Naik sekitar 7% dari sebelumnya.
Direktur Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menilai, peran Prabowo yang terus memobilisasi diri dalam mencari simpati masyarakat dinilai cukup efektif. Sering tampilnya Prabowo di berbagai media membuat partai yang dipimpinnya turut terangkat.
"Mobilisasi Prabowo sebagai pimpinan partai sangat baik. Lewat iklan dan mesin politik di bawah cukup baik," kata Denny, 9 April 2014.
Karakter pribadi Prabowo juga dinilai punya andil untuk menarik simpati masyarakat. Denny menilai karakter tegas Prabowo sangat dirindukan masyarakat dibanding dengan sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang terkesan kehilangan ketegasan sebagai seorang purnawirawan TNI.
"Dia (Prabowo) punya hal yang hilang semasa kepemimpinan SBY. Kesan tegas dan berani tidak tampak. Kehampaan itulah yang ada pada dia," imbuh Denny.
Hal senada juga disampaikan Direktur Riset Indikator Hendro Prasetyo. Dia mengatakan, Gerindra bisa menjadi parpol besar karena ada pengaruh Prabowo
"Ada pengaruh Prabowo karena selain ia dinilai bersih, masyarakat mendambakan pemimpin tegas yang siap menegakkan hukum. Itu dilekatkan sekali dengan Prabowo," ujar Hendro, 9 April 2014.
Ketokohan Prabowo yang menjadi magnet suara, karena masyarakat juga merasa tak puas dengan Pemerintahan SBY yang kurang tegas. Hal ini tak melihat latar belakang 2 tokoh itu yang pernah menjadi petinggi di dunia militer.
"Pemerintahan SBY yang jenderal saja bisa tidak tegas. Artinya nggak harus militer, tapi memang masyarakat melihat sosok pribadi Prabowo," tegas Hendro.
Golkar Stabil, PDIP Naik
Partai yang pernah berkuasa 32 tahun, Golkar meraih suara stabil dari pemilu sebelumnya. Pada 2004, Golkar meraih 14,45%. Kini berdasarkan hasil sejumlah quick count, suara Golkar berkisar 14,4%.
Menurut Ketua Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Philips J Vermonte, suara Golkar stabil karena institusi dan kelembagaannya lebih terkonsolidasi.
"Golkar selalu. Kalau tidak juara 1 ya juara 2. Di 2009 Golkar juara 2, di 2004 Golkar juara 1. Golkar menjadi juara karena selalu jadi kekuatan dominan di parlemen. Meski dihujat habis-habisan, tapi tetap juara 2," ujar Philips.
Efek Jokowi terbukti tidak berpengaruh. Pada Pemilu 2009, partai berlambang banteng bermoncong putih meraih 14,03%. Kini partai pimpinan Megawati Soekarnoputri memperoleh sekitar 19%, namun bukan lantaran keeradaan Jokowi, namun mundurnya kepopuleran partai pesaing. Menurut Denny JA dari LSI mengatakan, efek Jokowi justru tidak bertahan lama dalam mendongkrak suara PDIP. Sebab prediksi PDIP raih 20% lebih tak terbukti.
Suara PDIP dinilai menurun sejak Jokowi diberikan mandat sebagai capres. Tergerusnya suara Jokowi dipicu banyak hal, di antaranya kampanye negatif. "Ini era Jokowi mengalami penggembosan. Dan terbukti untuk pertama kalinya suara Jokowi turun," kata Denny.
Menurut Denny penurunan elektabilitas Jokowi dimulai Maret 2014, saat Gubernur DKI Jakarta itu mendeklarasikan diri siap menjadi capres PDIP. Sejak itu, opini publik terhadap Jokowi berubah.
"Ada 2 penyebabnya, Jokowi dinilai mengingkari janji dan ada videonya. Kedua kasus pengadaan busway. Apalagi kalau kejagung mengeksplor kasus ini terus sampai akhirnya memanggil Jokowi," lanjut Denny.
Sementara menurut Phillips, "Jokowi effect tidak terlalu berpengaruh karena mereka lebih memilih partai. Saya rasa ini menandakan demokrasi kita sudah jauh lebih berkembang."
Peluang Poros Tengah
Sama seperti Golkar, suara sejumlah partai Islam stabil. Dari hasil quick count, suara PKS turun sedikit, dari 7,88% pada 2009 menjadi sekitar 6,9%. PAN dari 6,01% menjadi 7,53%.
Sementara perolehan suara PPP naik dari 5,32% pada 2009 menjadi 6,25% pada 2014. Suara PKB meningkat cukup besar dari 4,94% menjadi sekitar 8,87%.
Pengamat politik dari FISIP UIN Andar Nubowo mengatakan, hasil ini bisa memicu kembalinya poros tengah atau koalisinya partai Islam pada 2009. Dengan rata-rata total penggabungan suara partai Islam yang bisa mencapai 29%, poros tengah bisa terjadi.
"Malah bisa mungkin membangun koalisi semacam poros tengah dengan suara 29%," ujarnya.
Akan tetapi, apabila tidak tercipta koalisi poros tengah, maka partai-partai Islam tersebut akan menjadi rebutan koalisi partai 3 besar, yakni PDIP, Golkar, dan Gerindra.
"Jika tidak tercipta Koalisi Poros Tengah, Partai Golkar atau Gerindra bisa bersaing dengan PDIP dalam mengambil alih atau mengajak koalisi partai-partai Islam," tandas Andar.
Ada partai yang terjungkal. Ada yang melesat. Ada yang stabil. Kira-kira seperti apa hasil Pemilihan Legislatif 2014? Partai mana yang akan 'memegang' pemerintahan, dan siapa presiden terpilihnya? Kita lihat saja nanti.
No comments:
Post a Comment
assalamualaikum