Minggu, pagi-pagi sekali aku sudah nongkrong di halaman rumahku, berharap bisa berjumpa dengan istri tetanggaku. Ya, Siska namanya. Orangnya cantik, bodinya aduhai, kulitnya putih mulus, penampilannya nyentrik dan modis. Andai saja aku boleh memilih, ingin kutukar saja istriku dengannya, nambah kulkas bolehlah. Tapi sayangnya, Tuhan memberiku jodoh yang keliru. Yanti, istriku yang bertubuh tambun, dengan kulit sawo cenderung busuk (agak coklat kehitaman), dengan rambut keritingnya yang lebih mirip sarang burung di dahan pohon mangga depan rumahku, yang tak bisa dandan, yang setiap hari pakai baju kumal, justru dialah yang dipilih Tuhan untuk menemani tidurku setiap malam. Dibilang nggak selera tapi yaa terpaksa dari pada hasrat tak tersalurkan. Huuufftt, aku hanya bisa mengeluh dalam hati.
Akhirnya, pucuk dicinta ulam pun tiba. Nampak di depan mataku sosok wanita cantik yang kutunggu-tunggu dari tadi, mulai keluar membuka pintu gerbang halaman rumahnya. Wajahnya berkilau tertimpa sinar mentari pagi nan cerah. Mengenakan setelan baju bernuansa pink, jilbab batik dengan warna senada, sepatu hak tinggi menambah jenjang postur tubuhnya. Belum lagi warna lipstiknya, perona pipinya, alisnya, dan semua dandanannya sangat padu padan, bak melihat artis papan atas yang sering nongol di TV dan you tube di layar HP-ku. Yang sangat kusuka adalah kepandaiannya dalam berpenampilan. Setiap hari ganti sehingga tampak tak membosankan bagi siapa pun yang memandang. Ini baru istri idaman setiap lelaki, gumamku dalam hati sambil mengusap kasar air liur yang menetes sedari tadi.
“Pagi, Mas Totok!” aku terkaget mendengar suara sapaannya yang merdu merayu bak buluh perindu. Kusuguhkan senyum termanisku, namun dia malah tertawa terpingkal-pingkal.
Kok ketawa, Dek Sis, Mas Totok lucu, ya? Gemes, ya? Pengen nyubit, ya? Naluri kebuayadaratanku meronta-ronta dalam hati.
“Mas Totok lucu, ya, masak ngisep rokoknya kebalik! Hahahaa!”
Oh My God, hunny bunny sweety, baru nyadarlah aku kalau mulutku terasa panas tersulut api rokokku sendiri. Kusembur rokokku, langsung kusambar dan kuteguk secangkir minuman di sebelahku. “Ah, ah, ah …!” teriakku lantang tatkala mulutku semakin terasa terbakar, kepanasan. Bukan air putih segar yang kuminum, melainkan kopi panas yang baru disuguhkan si gapura kecamatan, Yanti istriku. Aku pun tersipu malu. Tak kusangka di hadapan wanita yang sangat kuidolakan selama ini, aku mati kutu.
Nampak bidadari itu terus memandangiku sambil tersenyum, sangat manis. Sorot matanya begitu menggoda. Tak tahan aku melihatnya, ingin kubungkus saja dia pakai karet 1, lalu kumakan habis tak bersisa. Hehehe!
“Mau kemana, Dek Sis?” tanyaku basa-basi.
“Ini Mas, mau pergi arisan bentar ke rumah Nancy, mau ikut ta?”
“Hehehee…bisa aja Adek ini. Entar kalau Mas ikut bisa-bisa habis Mas dikeroyok gadis-gadis. Nggak ngatasi aku, Dek!” candaku.
“Hahahaa…ya udah Mas, aku berangkat dulu, ya?” pamitnya setelah mengenakan kaca mata hitam lalu mengemudikan mobil mengkilapnya yang super keren. Aku hanya mengangguk pelan seraya menatapnya tanpa berkedip.
“Mas, sarapan dulu, yuk!” buldoser di rumahku langsung saja menarik tanganku dengan kuatnya. Aku bahkan tak bisa melawannya.
Waow, berbagai masakan nikmat tersedia di meja, setidaknya buldoser ini pandai memanjakan lidah suaminya, batinku.
Selesai makan, aku mencuci tanganku di wastafel pojok ruang makan. Tiba-tiba buldoser itu mendekap tubuhku dari belakang. Ada apa dengannya? Pagi-pagi apa dia sudah tak tahan melihat kegantenganku? Sial.
“Maass, sudah hampir 2 minggu kamu tak menyentuhku, mumpung anak-anak lagi di rumah neneknya, sekarang aja yuuk? Aku sudah punya 3 jurus baru, loh, dijamin Mass bakalan klepek-klepek” rayunya sambil menciumi punggungku.
“Emang gue ikan klepek-klepek?” jawabku sekenanya, berniat kabur, tapi tenaga buldoser yang lagi meningkat libidonya itu sangat kuat. Aku mana bisa melakukannya saat ini, sedangkan aku muak sekali melihat wajahnya, bodinya, kumalnya. Yang kuingin saat ini adalah istri tetanggaku, titik.
“Dek, aku baru ingat kalau Mas Yusuf kemarin nawarin durian. Aku ambil dulu, ya, sekarang? Keburu habis, kan sayang. Kamu suka durian kan?” kucoba ‘Nylimur’ (Bahasa Jawa, artinya mengalihkan perhatian).
“Apa? Durian? Iya, Mas, cepetan sana, aku suka makan durian. Mas kan udah nggak pernah beliin aku lagi akhir-akhir ini. Entar kita belah duriannya setelah belah durianku dulu, ya?” aku manggut-manggut kegelian mengetahui rencanaku berhasil mengecohnya.
Dalam sekejap aku sudah sampai di depan pintu Mas Yusuf. Kupanggil-panggil dia tak menyahut. Karena pintu tak terkunci, aku pun menyeruak masuk. Ternyata Mas Yusuf ada di kamar bersama putranya.
“Mas Yusuf, maaf aku tadi sudah panggil-panggil, Mas nggak nyahut, aku masuk aja deh langsung,” aku meminta maaf.
“Oh, maaf Tok, aku nggak denger suaramu, noh gara-gara si Adam lagi nonton TV kenceng-kenceng. Ada apa?”
“Anu, Mas, anu, tapi ini rahasia lohya, …” kubisikkan ke telinga Mas Yusuf tentang pelarianku saat ini. Mas Yusuf tersenyum tanpa tenaga.
“Mas lagi sakit, ya?” tanyaku setelah melihat kondisinya yang nampak lemas.
“Iya, nih. Mas lagi nggak enak badan,” jawabnya lirih sambil sesekali terbatuk-batuk.
“Kok nggak ada yang ngerawat? Istri Mas tadi ke mana pagi-pagi sudah pergi?” tanyaku bak kura-kura dalam perahu, alias pura-pura tak tahu.
“Oalaa, istriku itu ya gitu kerjaannya, bersolek, belanja-belanja di mall atau butik, arisan sana-sini, makan-makan, jalan-jalan dengan teman-teman sosialitanya, ngabisin duit aja tahunya, mana peduli dia sama keluarga. Entar kalau dinasehatin malah ujung-ujungnya ngancam minta cerai, pusing aku punya istri macam dia, Tok,” keluh Mas Yusuf.
“Tapi, kan enak Mas, punya istri cantik dan modis, membuat kita bergairah dan semangat 45 tiap malam, hehehe!” godaku.
“Iya sih, bangga juga kalau punya istri cantik. Dibawa kemana-mana nggak malu-maluin. Tapii…ngenesnya tuh di sini, Tok!” Mas Yusuf mengelus-elus dadanya. Aku tersenyum kecut menanggapinya.
“Pa, Adam laper, kapan Papa buatin mi instannya?” putra Mas Yusuf menarik-narik tangan Mas Yusuf.
“Kok, mau masak mi instan sih, Mas? Apa tadi Dek Siska nggak masak?” tanyaku semakin penasaran dengan siapa Siska sebenarnya, tetangga yang selalu mempesonaku.
“Boro-boro masak, Tok. Dari bangun pagi kerjaannya mainin HP, cekikikan entah ma siapa, terus mandi, dan dandan berjam-jam. Lihat noh, dapur berantakan, peralatan dapur yang kotor masih numpuk, nggak pernah masak juga kalau bukan aku. Nyuci baju, nyapu, ngepel, dan lain-lain, semua aku yang ngerjain sendiri. Tapi, dua hari ini aku sakit, jadi kubiarkan saja semuanya,” curhatnya semakin los.
“Tapi tiap malam, Mas dapat servis memuaskan nggak dari Dek Siska?” fokusku tetap ke hal itu-itu juga.
“Oalaa, kalau aku nggak punya duit banyak, mana mau dia melayaniku? Yang ada disuguhi punggungnya doang, udah gitu ditutup selimut lagi. Kecurigaanku semakin kuat, kalau dia punya PIL di luar sana. Makanya, males dia sama aku. Bahkan teman-temanku bilang, mereka pernah mergoki istriku sama Oom-Oom kaya tua bangka. Tahu sendiri kan gimana gaya hidup istriku? Padahal kalau dihitung-hitung pakai logika, gajiku ditambah gajinya tak akan cukup untuk memenuhi gaya hidupnya yang setinggi langit. Persaingan dalam grup sosialitanya sangat ketat, pasti dia malu kalau kalah saing. Akhirnya, dia selalu menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Kalau bukan karena cinta dan keutuhan keluarga, aku sudah nggak tahan, Tok,” Mas Yusuf tersenyum sinis. Saking kesalnya, dia buka keburukan istrinya sendiri. Padahal, dulu dia sangat tertutup, cenderung menampilkan kebahagiaan yang ternyata kesemuanya palsu.
Setelah banyak bercakap-cakap, aku baru memahami penderitaan Mas Yusuf selama ini. Kukira dia sangat bahagia memiliki istri secantik bidadari, nyatanya hidupnya jauh lebih menderita dariku. Kutelpon istriku, kuceritakan tentang kondisi Mas Yusuf yang lagi sakit dan Adam yang merasa lapar. Beberapa jurus kemudian, istriku datang membawa beberapa rantang makanan.
Nampak oleh kedua mataku, Mas Yusuf dan Adam sangat menikmati masakan Yanti yang super duper lezatnya. Makanan sebanyak itu ludes dalam hitungan beberapa menit. Melihat rumah Mas Yusuf yang bagai kapal pecah, Yanti tanpa dikomando langsung membersihkannya. Dalam waktu 1 jam lebih rumah Mas Yusuf disulapnya jadi kinclong. Dimandikannya Adam dan dipakaikan baju yang bersih. Adam yang masih berumur 3 tahun sangat menyukainya, bahkan dia sangat patuh terhadap semua nasehat istriku.
Melihat itu Mas Yusuf nampak senang, dia beranjak ke kamar mandi, karena air hangat sudah disiapkan oleh istriku sebelumnya. Sebelum kami pamit pulang, Mas Yusuf berterima kasih, “Tok, Yan, makasih banget ya, kalian sudah mampir ke sini dan makasih banget atas semuanya deh!”
“Iya, Mas, sama-sama. Ngomong-ngomong, mana duriannya, Mas? Kata Mas -” kubekap mulut Yanti sebelum dia menyelesaikan kalimatnya. Aku tidak mau kebohonganku terbongkar. Malu kan. Yanti berusaha meronta-ronta, menendang-nendang di udara.
"Hehehee, kalian apa’an sih? Bahagia sekali ya, hidup kalian? Tok, aku iri sama kamu. Bolehkah kutukar Yanti dengan Siska?” aku kaget setengah mati mendengar candaannya. Bukankah selama ini, itu yang kuinginkan. Tapi, setelah tahu kebenaran Siska, aku jadi ngeri.
"Enak aja, istri kayak Yanti ini limited edition, Mas!" kami semua tertawa. Yanti hanya terkekeh dalam bungkamanku, nampak dari tubuh tambunnya yang bergetar-getar.
Sampai di rumah, Yanti segera mandi dan merapikan diri, dandan pakai gincu, tubuhnya pun wangi. Nampak kini dia jauh lebih cantik, aku jadi tersepona eh terpesona melihatnya. Aku merasakan inner beauty terpancar dari dalam hati dan dirinya. Tak menunggu waktu lama, segera kuhabisi dirinya sampai tak bersisa. Aku bahagia memiliki istri seperti Yanti. Dan takkan pernah kubiarkan dia diambil lelaki lain, juga Mas Yusuf. Uuppss, kenapa aku jadi pencemburu, ya? Aku tertawa geli dalam hati.
"Sayang, kok kamu kian hari kian kurusan, makin cantik dan seksi aja sih, jangan-jangan kamu... lagi jatuh cinta, ya? Punya PIL, ya?" tuduhku diselimuti rasa cemburu. Karena beberapa bulan ini terjadi perubahan drastis pada istriku.
"Ah, Sayang, aku kan cuma nuruti nasehat kamu, aku diet sesuai keinginanmu, Mas. Lupa, ya, kalau kamu yang nyuruh aku diet?"
Astaga naga aku lupa bahwa aku pernah mengeluh dengan kegendutannya dan menyuruhnya diet.
"Mas, uang belanja dah habis, aku butuh nih, mau ke pasar tradisional aja deh biar hemat. Sekalian mau stok lauk dan sayur yang banyak, antisipasi katanya pasar mau tutup 2 minggu, efek virus corona," mak deg aku mendengar permintaannya, padahal aku kehabisan uang gara-gara buat servis motor kemarin. Sementara gajian kurang 1 minggu lagi.
"Dek, maaf, uang Mas sudah habis buat servis motor dan ganti accu kemarin. Gimana nih?" jawabku khawatir istriku marah dan berimbas pada jatah malamku nanti.
"Ya udah, Mas, aku pakai tabunganku dulu, ya. Tapi, kapan-kapan kalau ada rezeki lebih, ganti, ya?" kalem istriku mengatasi permasalahan kami.
"Terima kasih, Tuhan! Engkau sudah beri ku jodoh yang benar-benar tepat dan sempurna. Sudah cantik, baik, sabar, pengertian lagi. Jadiii...,"
"Aaww," istriku berteriak manja saat kubopong tubuhnya menuju kamar. Baru kusadari kini, kebahagiaan sejati adalah mencintai istri sendiri.
TAMAT
No comments:
Post a Comment
assalamualaikum