Oleh: Ust. Ahmad Musyaddad, Lc, M.E.I
Pejuangmedia.blogspot.com - Banyak orang yang tahu tentang kisah Uhud. Tentang kekalahan yang
dialami oleh kaum muslimin di bukit itu. Tentang darah yang mengalir
dari pelipis Nabi dan remuknya geraham beliau. Ya. Tentang pasukan yang
tidak taat dengan arahan komandan mereka di medan perang. Dan tentang
sahabat-sahabat mulia yang berguguran menjadi syuhada, diimami oleh
paman Nabi tercinta, Hamzah bin Abdul Muththalib.
Hari ini, dari
mimbar Masjidil Haram saya dapat mendengar kembali lanjutan kisah Uhud
yang legendaris itu. Satu babak baru dari kehidupan heroik sang Nabi
beserta para sahabatnya yang mulia. Hari yang disebut oleh Allah SWT di
dalam al-Qur’an dengan kisah orang-orang yang tiada peduli dengan perih
luka mereka saat panggilan Allah dan RasulNya datang (3:172). Itulah
perang Hamra’ul Asad. Episode baru, sehari setelah kekalahan uhud yang
banyak orang tidak tahu.
Setelah hari Uhud berlalu, dengan segala
kepiluan dan luka, di mana di medan itu terbunuh tujuh puluh sahabat
Nabi yang mulia. Kaum Musyrikin merasa mereka telah meluluhlantakkan
pondasi-pondasi kekuatan kaum muslimin. Di saat itu Nabi saw merasa
sangat khawatir kaum musyrikin akan memanfaatkan kesempatan ini untuk
menggempur Madinah yang di sana ada anak-anak, kaum wanita dan harta
benda mereka.
Setelah menunaikan shalat shubuh bersama para
sahabat, Nabi saw memerintahkan Bilal untuk mengumumkan kepada para
sahabat yang kemarin ikut berperang untuk mengejar kaum musyrikin. Untuk
aksi ini, yang boleh ikut serta hanya mereka yang kemarin bergabung
bersama pasukan Uhud, kata sang Nabi. Anda bisa membayangkan betapa
beratnya tugas ini. Mereka baru melepas penat, darah masih basah dan
perih itu masih terasa lekat di tubuh mereka, tiba-tiba mereka mendapat
perintah untuk angkat senjata kembali. Allahu Akbar..
Saat
mendengar perintah Nabi saw yang dikumandang Bilal itu, Sa’ad bin Muadz
segera beranjak menuju kaumnya untuk memberitahu mereka agar memakai
kembali pakaian perang. Sa’ad berkata, “Aku menyaksikan darah di tubuh
mereka masih merah. Mayoritas Bani Asyhal terluka, bahkan semuanya.”
Ketika itu juga, Usaid bin Hudhair yang sedang didera tujuh luka bangkit
dan berkata, “Aku menyambut seruan Allah dan RasulNya” lalu ia ambil
senjatanya tanpa peduli dengan perih luka yang ia derita. Sa’ad bin
Ubadah juga segera mendatangi kaumnya, dan mereka pun menyambut dengan
sigap. Demikian juga Abu Ubadah, datang kepada kaumnya yang sedang
mengobati luka-luka mereka, dan mereka pun bersegera menyambut panggilan
Allah dan rasulNya tanpa peduli luka-luka yang menganga itu.
Salah seorang perawi kisah ini menyebutkan, dari Bani Salimah keluar
empat puluh orang yang sedang mengalami cedera berat, ada Thufail bin
Nu’man yang membawa tiga belas lukanya, ada Bakhrasy bin ash-Shamah
dengan derita sepuluh luka, Ka’b bin Malik mengalami belasan luka,
begitu juga Quthbah bin Amir ada sembilan luka. Mereka berkumpul bershaf
menghadap Nabi saw di Bi’r Abi ‘Anabah di puncak Tsaniyah, lengkap
dengan pedang dan semangat mereka yang membara. Ketika melihat kondisi
mereka, dengan darah yang masih basah dan luka yang masih merah, sang
Nabi bersabda dengan penuh rasa, “Ya Allah, sayangilah Bani Salimah.”
Saat menyampaikan doa Nabi di atas, Khatib terhenti. Tak kuat beliau
membendung isak tangis. Demikian juga sesiapa yang mengerti betapa
manusia-manusia mulia itu sangat sigap dengan panggilan Allah dan
rasulNya akan terisak. Ya Allah.. sayangilah kami dan sebagaimana Engkau
menyayangi sahabat nabiMu.
Al-Waqidi juga menceritakan tentang
manusia-manusia hebat itu. Mereka adalah dua bersaudara Abdullah bin
Sahl dan Rafi’ bin Sahl bin Abdul Asyhal. Keduanya pulang dari Uhud
dengan luka serius. Namun, ketika besoknya mereka mendengar kabar jihad
dikumandangkan kembali, berkata salah seorang di antara keduanya kepada
yang lain, “Demi Allah, jika kita tidak ikut berperang bersama
Rasulullah sungguh kita sangat merugi. Namun apa daya kita tidak punya
tunggangan, lalu bagamana ini?” saudaranya berkata “Mari kita berangkat”
yang lain menjawab, “Demi Allah, Aku tidak dapat berjalan dengan baik.”
Saudaranya berkata, “Baiklah, kita berjalan pelan-pelan” maka mereka
berdua berjalan tertatih-tatih. Ketika Rafi’ merasa tidak kuat,
saudaranya menggendongnya. Dan ketika Abdullah merasakan payah, maka
giliran Rafi’ yang menggendong, hingga mereka sampai di camp Nabi di
waktu isya. Ketika melihat dua sahabatnya ini, beliaupun mendoakan
kebaikan bagi mereka. subhanallah...
Nabi keluar bersama mereka
dalam kondisi masih cedera berat, tubuh beliau terluka, kening beliau
masih bersimbah luka dan geraham beliau hancur. Beliau dan para sahabat
membuat camp di daerah Hamra’ul Asad dengan perbekalan yang seadanya.
Namun demikian, semangat yang terpancar dari aura sang Nabi dapat
ditangkap jelas oleh para sahabat bahwa itu pertanda kemenangan yang
semakin dekat. Di suatu kesempatan beliau bertutur kepada Thalhah,
“Wahai Thalah, sunggu mereka tidak akan mampu menaklukkan kita seperti
kemarin sampai Allah mengizinkan kita menaklukkan Mekah kelak.”
Hamra’ul Asad adalah saksi sejarah tentang keahlian Nabi saw dalam
merancang strategi perang. Siang hari, beliau perintahkan para sahabat
untuk mengumpulkan kayu bakar. Kemudia pada malam hari, setiap prajurit
harus membuat api unggun. Maka pada malam itu, terjadilah parade api
unggun yang jumlahnya sampai lima ratus api unggun. Kepulan asap dan
nyala api yang dahsyat ini yang dikirim oleh Allah sehingga
menggentarkan kaum musyrikin yang sejak kemarin masih beristirahat di
daerah Rauha’. Menyaksikan kobaran api itu, kaum musyrikin yang sama
sekali tidak pernah berpikir akan dikejar dan dalam kondisi sangat tidak
siap, akhirnya melarikan diri ke Mekkah.
Hamra’ul Asad, kisah
keberanian dan keteguhan. Hamra’ul Asad adalah cerita tentang
pengorbanan dan kesigapan. Hamra’ul Asad adalah riwayat tentang strategi
dan ketawakkalan. Hamra’ul asad, di sana ada manusia-manusia mulia yang
jauh lebih mencintai Akhirat dibanding dunia yang fana. SEKIAN
Mekkah, 19 Rabi’u tsani 1437 H
Ahmad Musyaddad
Ahmad Musyaddad
No comments:
Post a Comment
assalamualaikum