Pejuang Media. Yogyakarta - Ada yang menarik menjelang pemilu 1977 ketika Partai Islam akan disatukan dalam satu wadah partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan. Argumen yang perlu dicermati adalah yang dimuat TEMPO (23 Desember 1972), yaitu oleh seorang politisi Parmusi bernama Naro yang menyatakan ada keuntungan melebur diri alias
melakukan fusi. Pertama, umat Islam tidak diadu domba lagi. Kedua, dapat
menghapuskan keraguan generasi muda. “Karena itu kita harus berterima
kasih kepada Pak Harto. Sebab beliaulah yang mendorong persatuan itu. Dari perkataannya tersimpan ambiguitas yang cukup dalam.
Penyederhanaan partai dilakukan pasca Pemilu 1971. Di DPR, dibentuk 4 fraksi: ABRI, Golkar, Demokrasi Pembangunan (IPKI, PNI, Partai Katolik, Parkindo, Murba), dan Persatuan Pembangunan (NU, Parmusi, PSII, Perti). Hingga pada Januari 1973, akhirnya secara resmi partai politik difusikan menjadi dua partai politik dan satu golongan fungsional yaitu PDI, PPP, dan Golkar. PDI merupakan hasil fusi dari kelompok nasionalis, sedangkan PPP merupakan hasil fusi dari kelompok Islam.
menimbang adanya Fusi tersebut, ada positif dan negatifnya jika kita lihat dengan pendekatan post facto, yaitu bersatunya umat dalam satu bendera sehingga koordinasi umat bisa lebih efisien. Keutamaan dari persatuan tersebut banyak menjadi harapan umat saat itu agar umat Islam tidak mudah di adu domba. namun faktanya berkata lain, ternyata negarifnya dari kebijakan ini adalah Orde Baru dibawah Regime Soeharto lebih mudah dalam mengontrol gerakan politik di Indonesia. terlebih ada indikasi bahwa pemerntah Soeharto disokong oleh CIA USA yang jelas punya kepentingan di atas muka bumi. selain untuk menghilangkan saingan Ideologisnya yaitu Komunis, USA juga ingin menghilangkan Islam atau minimal mengurangi gerak Islam agar ideologi barat dengan liberal dan sekuliresime-nya bisa berkembang keseluruh celah dunia. ideologis itulah yang bisa digunakan untuk mengendalikan dunia.
Situasi berbeda dialami PDI. Konflik internal terus berlangsung. Selain karena rivalitas personal para elite, tak ada ideologi pemersatu seperti Islam di PPP. Partai Katolik dan Parkindo lebih mirip partai agama. Sementara, IPKI, PNI, dan Murba beraliran nasionalis.
Sejak awal, dalam pengamatan R. William Liddle, PPP telah dianggap saingan terberat Golkar. Sejumlah cara dilakukan untuk menghadang. Guru besar Ohio State University itu mengagrisbawahi fakta, beberapa bulan sebelum pemungutan suara, Kopkamtib membongkar Komando Jihad, sebuah kelompok para Islamis yang coba menggulingkan pemerintah.
PPP Taklukkan Golkar di Jakarta
Pangkopkamtib Laksamana Sudomo menyatakan tak ada hubungan Komando Jihad dan PPP. Namun, "...pemimpin-pemimpin PPP merasa yakin bahwa langkah ini dirancang sebagai dalih Kopkamtib untuk menahan para politisi Islam yang tidak disukainya," tulisa Liddle dalam Pemilu-pemilu Orde Baru.
Benar saja. Pada Pemilu 1977, suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP meraup 18.743.491 suara, 99 kursi, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971.
Banyak orang percaya, kemenangan PPP di Jakarta juga disebabkan Gubernur Ali Sadikin yang netral. Padahal, di masa itu, Gubernur dan pemimpin daerah lain adalah perpanjangan tangan Golkar.
Secara nasional, Golkar tetap digdaya: meraih 37,75 juta suara atau 232 kursi DPR -- kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971. Perihal PDI, hanya meraih 5.504.751, dengan 29 kursi.
Orde Baru sukses menjadikan Golkar sebagai kekuatan politik terpenting. Juga mengurangi hiruk-pikuk politik yang bisa mengganggu stabilitas. Buat Orde Baru, stabilitas adalah prasyarat utama pembangunan.
"Dalam tahap nasional harus dapat diharapkan kestabilan lingkup keputusan sebagai jaminan kelangsungan usaha-usaha pembangunan," tulis salah seorang arsitek Orde Baru, Ali Moertopo, dalam Akselerasi Pembangunan 25 Tahun.
Dengan kemenangan Golkar, Soeharto kian mantap di kekuasaan. Terus di singgasana sampai 20 tahun kemudian. Lalu, 1997-1998, ketidakpuasan rakyat membesar bak bola salju dan membuat pendiri Orde Baru itu mesti mundur.
Penyederhanaan partai dilakukan pasca Pemilu 1971. Di DPR, dibentuk 4 fraksi: ABRI, Golkar, Demokrasi Pembangunan (IPKI, PNI, Partai Katolik, Parkindo, Murba), dan Persatuan Pembangunan (NU, Parmusi, PSII, Perti). Hingga pada Januari 1973, akhirnya secara resmi partai politik difusikan menjadi dua partai politik dan satu golongan fungsional yaitu PDI, PPP, dan Golkar. PDI merupakan hasil fusi dari kelompok nasionalis, sedangkan PPP merupakan hasil fusi dari kelompok Islam.
menimbang adanya Fusi tersebut, ada positif dan negatifnya jika kita lihat dengan pendekatan post facto, yaitu bersatunya umat dalam satu bendera sehingga koordinasi umat bisa lebih efisien. Keutamaan dari persatuan tersebut banyak menjadi harapan umat saat itu agar umat Islam tidak mudah di adu domba. namun faktanya berkata lain, ternyata negarifnya dari kebijakan ini adalah Orde Baru dibawah Regime Soeharto lebih mudah dalam mengontrol gerakan politik di Indonesia. terlebih ada indikasi bahwa pemerntah Soeharto disokong oleh CIA USA yang jelas punya kepentingan di atas muka bumi. selain untuk menghilangkan saingan Ideologisnya yaitu Komunis, USA juga ingin menghilangkan Islam atau minimal mengurangi gerak Islam agar ideologi barat dengan liberal dan sekuliresime-nya bisa berkembang keseluruh celah dunia. ideologis itulah yang bisa digunakan untuk mengendalikan dunia.
Situasi berbeda dialami PDI. Konflik internal terus berlangsung. Selain karena rivalitas personal para elite, tak ada ideologi pemersatu seperti Islam di PPP. Partai Katolik dan Parkindo lebih mirip partai agama. Sementara, IPKI, PNI, dan Murba beraliran nasionalis.
Sejak awal, dalam pengamatan R. William Liddle, PPP telah dianggap saingan terberat Golkar. Sejumlah cara dilakukan untuk menghadang. Guru besar Ohio State University itu mengagrisbawahi fakta, beberapa bulan sebelum pemungutan suara, Kopkamtib membongkar Komando Jihad, sebuah kelompok para Islamis yang coba menggulingkan pemerintah.
PPP Taklukkan Golkar di Jakarta
Pangkopkamtib Laksamana Sudomo menyatakan tak ada hubungan Komando Jihad dan PPP. Namun, "...pemimpin-pemimpin PPP merasa yakin bahwa langkah ini dirancang sebagai dalih Kopkamtib untuk menahan para politisi Islam yang tidak disukainya," tulisa Liddle dalam Pemilu-pemilu Orde Baru.
Benar saja. Pada Pemilu 1977, suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP meraup 18.743.491 suara, 99 kursi, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971.
Banyak orang percaya, kemenangan PPP di Jakarta juga disebabkan Gubernur Ali Sadikin yang netral. Padahal, di masa itu, Gubernur dan pemimpin daerah lain adalah perpanjangan tangan Golkar.
Secara nasional, Golkar tetap digdaya: meraih 37,75 juta suara atau 232 kursi DPR -- kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971. Perihal PDI, hanya meraih 5.504.751, dengan 29 kursi.
Orde Baru sukses menjadikan Golkar sebagai kekuatan politik terpenting. Juga mengurangi hiruk-pikuk politik yang bisa mengganggu stabilitas. Buat Orde Baru, stabilitas adalah prasyarat utama pembangunan.
"Dalam tahap nasional harus dapat diharapkan kestabilan lingkup keputusan sebagai jaminan kelangsungan usaha-usaha pembangunan," tulis salah seorang arsitek Orde Baru, Ali Moertopo, dalam Akselerasi Pembangunan 25 Tahun.
Dengan kemenangan Golkar, Soeharto kian mantap di kekuasaan. Terus di singgasana sampai 20 tahun kemudian. Lalu, 1997-1998, ketidakpuasan rakyat membesar bak bola salju dan membuat pendiri Orde Baru itu mesti mundur.
No comments:
Post a Comment
assalamualaikum