Pagi itu suara Kereta Api begitu memekikan kampung
baru, tak terkecuali anak-anak Media Insan Cita Net ( MIC Net). Ada tiga
penghuni di warnet itu, Dibyo, Ari, dan aku sendiri Aan. Suara kereta batu bara
yang hampir kita hafal jam terbangnya,
memang selalu membangunkan kami tepat menjelang subuh. Yah.,.memang letak warnet kami sebagai tempat usaha yang mungkin hanya beberapa meter saja jaraknya dari rel kereta, sehingga alunan kereta lewat telah terdengar biasa bagi kami.
memang selalu membangunkan kami tepat menjelang subuh. Yah.,.memang letak warnet kami sebagai tempat usaha yang mungkin hanya beberapa meter saja jaraknya dari rel kereta, sehingga alunan kereta lewat telah terdengar biasa bagi kami.
Pagi itu, selesai sholat subuh berjamaah di masjid,
aku dan Dibyo memutuskan untuk lari pagi di GSG Unila. Karena hari minggu
warnet kami tidak beroprasi. Kalau pun kita mau buka, pasti sepi karena
kebanyakan mahasiswa yg kost di perkampungan mahasiswa Kampung Baru ini banyak
yg pulang kampung. Jadi kita putuskan hari minggu sebagai hari untuk
beristirahat setelah 6 hari kulyah dan bergantian jaga warnet. Walau terkadang
aku masih di sibukan juga dengan agenda rapat organisasi dan kegiatan lain di kampus.
Ari tidak ikut kami karena ada tugas kerjaan ketikan dari klien yg belum di
selesaikan. Dia memutuskan mengerjakan setelah solat subuh ini.
Seperti biasa, Hari minggu ini di Gedung Serba Guna
(GSG) Unila begitu ramai dengan aktvitas para mahasiswa yg riyadoh ( Olah raga
). Selain mahasiswa, banyak juga masyarakat di Bandar Lampung yang memilih GSG
Unila sebagai tempat olah raga di hari minggu. Selain karena letaknya yang
strategis, GSG Unila juga cukup begitu luas untuk arena olah raga, seperti
futsal, bulu tangkis, lari, dan olah raga ringan lainnya. Yang tidak
ketinggalan juga adalah banyak para penjual yang telah mangkal dari sejak pagi sehingga orang-orang yang berolahraga
disini tidak susah mencari tempat untuk sarapan pagi.
Baru sekali lari mengelilingi lapangan, tiba-tiba Dibyo
mulai mengajak q perbincangan serius. “ Lihat cewek itu an ?? “ sahabatku
menunjuk seorang perempuan berjilbab, sekilas ku lihat memang anggun. dan sepertinya
memang aku pernah melihat akhwat itu, fikirku dalam hati.
"Bukanya dia pernah menjadi klien warnet kita Dib?"
tanya ku pada Dibyo.
"Ya benar An, dia sering ke warnet kita kalau
browsing. Dia tuh satu fakultas dengan aku, tapi beda jurusan."
“ Sudah sejak lama Aku punya rasa dengan dia, bisa
di bilang aku jatuh cinta pada nya. Tapi setiap kali aku mencoba untuk mendekatinya,
dia menjauhiku. Entah apa maksudnya. Pernah aku nekad cari tahu nomer handphone
nya dan aku sms, tapi tetap saja dia begitu cuek pada ku.” Begitu penjelasan
Dibyo padaku.
“ Kau sudah pernah mencoba mendekatinya secara
syar’I Dib, taaruf maksudku?? “ tanyaku pada dibyo.
“ Taaruf An, mau langsung nikah maksud kamu, yang
bener aja. Aku ini masih kuliah. Mau di kasih makan apa nanti? Belum juga apa
yang harus aku bilang pada kedua orang tua ku?“ dibyo terlihat serius dengan
ucapannya.
Aku hanya bisa tertawa melihat sikapnya yang aku
fikir masih seperti anak kecil.
“ Begini Dib, kau tahu dia kan. Coba lihat cara
berpakainnya, dia tidak sama dengan kebanyakan cewek yang memakai jilbab yang
asal-asalan kan. Jilbabnya menutup dada, memakai kaos kaki, pakainnya tidak
ketat. Itu menandakan dia sangat menjaga iffah dan izzahnya, dia begitu menjaga
kehormatannya. Jadi kalau kamu mendekati dia hanya dengan cara seperti itu, dia
akan tetap seperti itu. Kalau aku jadi kamu,udah aku lamar enggak pake lama.. “
aku mencoba memberikan masukan.
“ Tapi kalau nikah mah aku belum siap bro, mau
kasih makan apa nanti. Untuk hidup sendiri aja masih pas-pasan dan nggak
mungkin juga kan minta sama orang tua?“ dia pun melanjutkan pertanyaannya
sambil bergaya seperti gaya rocker idolanya. Aku hanya menggeleng-gelengkan
kepala melihat tingkah lakunya. Yang aku sayangkan pada Dibyo adalah dia tidak
ter-tarbiyah, pernah ikut Liqo’ pun Cuma semester satu, itu pun karena program
universitas yang mewajibkan mahasiswa baru untuk liqo BBQ ( Biro Bimbinga Al
Quran). Walaupun sebenarnya dalam urusan ngaji dia termasuk jago dan sholatnya
tidak pernah bolong, tapi urusan hubungan antara ikhwan dan akhwat mungkin dia
masih terlihat slenge’an.
Tak berapa lama setelah perbincangan itu, aku
mengetahui namanya. Annisa. Nama yang bagus dan indah aku fikir, itu pun aku
ketahui dari dibyo yang keceplosan menyebut namanya saat dia bercerita tentang
si Annisa.
Lain cerita, aku pun sedang mengalami seperti apa yang
Dibyo rasakan. Aku tertarik dengan seorang akhwat di fakultasku. Namanya ukhti
Eny. Dan aku pun telah berniat untuk melamarnya. Hari ini aku berencana menemui
murobbinya, berniat untuk menunjukan keseriusanku untuk mengajaknya taaruf
terlebih dahulu.
Malam ini sengaja aku libur untuk menjaga warnet,
tugas jaga sementara malam ini aku berikan pada Ari. Untungnya dia tidak sibuk
jadi mau untuk menggantikan tugasku. Ba’da Isya aku segera berangkat ke rumah
murrobi ukh Eny. Untungnya aku telah begitu kenal akrab dengan ustad Dedi,
suami dari murrobi uk Eny yang akan aku jadikan sebagai bidadari di
kehidupanku.
Pukul delapan malam, aku sampai di kediaman beliau.
“Asaalamualaikum” ku ucapkan salam pada penghuni rumah berharap mendapat rahmat
dari Allah. “ waalaikumsalam” jawab Ustad Dedi yang telah menunggu dari tadi.
“Silahkan masuk akh, sendirian aja antum kesini?” Tanya ustad Dedi.”Ya Ustad,
malu kalau mau ajak kawan.” Jawabku dengan polosnya. Ustad Dedi hanya tertawa
mendengar jawaban ku.
Tak berselang lama, Umi Halimah keluar dari ruang
tengah dan membawa air minum dan makanan kecil. Setelah itu beliau duduk
disamping ustad Dedi. “Kamu benar-benar telah siap An mau taaruf denga si Eny?”
Tanya ustad Dedi yang memang maksud kedatangan ku telah aku sampaikan pada
beliau lewat telpon tadi pagi.
“Ya ustad” jawab ku mantap.
Beliau lalu balik bertanya pada istrinya, Umi
Halimah selaku murrobi liqo dari Ukh Eny. “ bagaimana umi tentang mereka ini?
Tanpa menjawab pertanyaan dari ustad dedi, umi Halimah
langsung bicara pada ku. “Begini An, untuk urusan menikah, Eny memang pernah
bilang pada saya, dia siap seumpama ada ikhwan yang mengajaknya untuk taaruf.
Dan masalah orang tuanya, dia pernah meyakinkan orang tuanya seumpama ada
seorang ikhwan yang bersedia untuk menikahinya, dia tidak akan menunda-nunda
lagi untuk memutuskan menikah asalkan ikhwan itu sesuai syarat. Dan orang
tuanya pun telah merestui niatnya. Kebetulan orang tuanya masih saudara dengan
kami, jadi orang tuanya telah berkenan pada kami untuk memilihkan jalan bagi
Eny dalam mencari pendamping hidupnya, semoga ini di Ridhoi oleh Allah, aamiin”.
Mendengar perkataan umi Halimah rasanya aku semakin mantap untuk meneruskan
niatku ini.
“Ya umi, saya udah niat, saya memang ada
kecenderungan dan rasa tertarik pada ukhti Eny. Dan karena saya tidak ingin
terjerumus dalam dosa zina hati dan fikiran, maka saya niatkan untuk melamar
nya.” Kataku dengan mantap.
“Bagus itu An, itu tandanya kamu gentleman dan memang ikhwan seperti itu
yang diharapkan oleh para akhwat juga. Tidak dengan mengajak pacaran atau
sekedar main-main dalam urusan cinta”
jelas ustad Dedi memberiku semangat.
Umi Halimah hanya tersenyum mendengar perkataan
ustad Dedi yang seolah-olah menceritakan kisah lalunya. Ah.,.aku jadi iri
melihat mereka, fikir ku dalam hati.
“Ya sudah kalau begitu, nanti saya dan umi mencoba
bicara pada Eny dan orang tuanya, semoga saja bersedia untuk taaruf dengan mu.”
Kata ustad Dedi
“Ya ustad, saya tunggu kabarnya.” Aku pun tidak
berlama-lama berada di situ karena waktu telah menunjukan pukul Sembilan. Aku
pun beranjak pamit dengan perasaan yang agak sedikit lega.
Siang itu seperti biasa sambil menjaga warnet, aku
mencari bahan untuk skripsi ku. Tiba-tiba Handphone ku berbunyi. Ku lihat ustad
Dedi yang menelpon.
“Assalamualaikum” sapa ku
“Walaaikumsalam” jawab ustad Dedi
“ya ustad, ada apa? Tanya ku membuka pembicaraan.
“ Begini An, tadi kami ke rumah Eny. Saya dan umi
telah bicara pada orang tuanya dan Eny kalau ada yang ingin mengajaknya untuk
menyempurnakan setengah dien nya bersama dalam ikatan suci pernikahan. Dia pun
bersedia untuk taaruf. Dia pun telah tahu siapa yang akan mengajaknya taaruf.?
“ Jadi dia telah tahu saya ustad?” Tanya ku dengan
sedikit terkejud kalau seandainya aku di tolak karena dia telah tahu kehidupan ku
yang seorang mahasiswa perantauan dari kota kecil prengsewu yang di utus orang
tua menuntut ilmu di kota ini.
“Kamu kok jadi grogi gitu An, santai aja. Yang dia
lihat kan akhlak kamu dan insyaAllah dia nggak salah. Toh msih taaruf juga kan.
Kalau setuju ya di terusin, kalau tidak ya itu yang terbaik. Yang penting kita
udah belajar sesuai tuntunan agama.” Jawab ustad Dedi.
“baik kalau begitu ustad, Alhamdulillah, Semoga
Allah memudahkan jalan ini. Aamiin” aku sedikit lega dengan jawaban ustad.
“ Ya sudah kalau begitu, besok hari minggu kita
kerumahnya untuk taaruf, persiapkan diri mu, jangan sampai jadi grogi sekalipun
ini adalah langkah besar dalam hidup mu.” ustad Dedi memberikan semangat padaku
“Ya ustad, terimakasih.”
Selesai percakapan dengan ustad lewat telepon, aku
segera menghubungi keluarga ku di kampung, sebuah desa kecil di kabupaten
Prengsewu. Aku utarakan niat ku pada orang tua ku dan Alhamdulillah mereka tahu
maksudku dan meridoi langkah ku.
Di hari yang di janjikan, aku bersama ustad Dedi berangkat
kerumah orang tua Ukhti Eny, ya.,.,aku masih memanggilnya ukhti Eny karena saat
ini kami masih berstatus saudara semuslim dan aku pun belum bisa memastikan
bahwa kami akan berjodoh.
Sampai dirumah yang di tuju, aku agak sedikit
tertegun karena rumah yang di tuju ternyata berada di komplek perumahan mewah.
Aku hampir berfikir mengundurkan diri karena akan terasa malu nantinya jika aku
di tolak karena tidak selevel. Tapi segera fikiran itu aku tepis karena aku
telah niat ini semua karena Allah SWT. Seumpama jodoh ya karena Allah, jika di
tolak berarti juga ini semua yang terbaik dari Allah.
Sampai di dalam ternyata semua telah dipersiapkan.
Umi Halimah ternyata telah berada di dalam sejak semalam untuk mempersiapkan
acara ini bersama denga ibu ukh Eny dan sodara-sodaranya. Aku pun sedikit bingung
kenapa acara taaruf agak ramai begini. Ketika di dalam aku dan ustad Dedi di
sambut oleh Pak Rahmat, Ayah dari Ukh Eny. Aku tahu itu ayahnya dari ustad Dedi
yang bercerita selama di perjalanan tadi.
“Jadi ini Ali di zaman modern yang berani untuk
menikahi putri semata wayang ku?” ayahnya ukh Eny membuka pembicaraan.
Aku menjadi sedikit bingung dengan ucapan ayah ukh
Eny yang mengibaratkan aku seperti Ali bin Abi thalib yang berani melamar
Fatimah putri Rasulullah.
“Ya mas, ini Aan yang saya ceritakan dua hari yang
lalu.” Ustad Dedi memberikan jawaban pada Pak Rahmat.
Setelah terjadi obrolan ringan selama kurang lebih
tiga puluh menit, Pak Rahmat memulai menggiring tema pembicaraan kearah yang
lebih serius.
“Emm.,jadi gini An, saya sudah mendengar semua dari
Dedi tentang kamu. Kebetulan kan kamu Aktivis dakwah kampus binaan dari Dedi,
jadi saya percaya sama Dedi. Dan saya pun telah bertanya pada Eny, dan ternyata
dia pun telah tahu kamu. Dia juga bersimpati pada kamu yang aktif di organisasi
Dakwah Kampus dan telah mandiri usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup kulyah
kamu dengan usaha rental dan warnet komputer.
Aku jadi agak sedikit bingung dengan ucapan Pak
Rahmat. Aku mau taaruf dengan anaknya malah mereka telah tahu semua tentang
kehidupan ku. Aku jadi semakin minder. Lalu pak rahmat selaku orang tua Ukh Eny
menanyai kesiapan ku.
“Saya niat lillahi ta’ala pak untuk menyempurnakan
setengah agama saya dengan ukh Eny, kalau pun setelah taaruf nanti saya di
tolak, saya terima karena ini semua dari Allah, kalau saya di terima oleh Ukh
Eny, Alhamdulillah.” Aku berkata penuh kepasrahan dan penuh harap.
“Bagus lah kalau begitu, semoga ini tidak salah
langkah. Rasanya kamu dan Eny sudah saling kenal dengan baik. Kalau kamu bilang
telah niat lilllahita’ala dan saya pun telah bertanya pada Eny bahwa dia memang
ada rasa suka dan cinta pada kamu, yang semoga rasa itu datangnyanya karena
Allah. Jadi, Ahlan wa sahlan ya akhi, kami
selaku orang tua merestui. Tidak usah taaruf pun kami rasa kalian telah
memiliki rasa yang sama seperti Ali dan Fatimah. Jadi bagaimana kalau hari ini
langsung saja di adakan ijab Kabul. Untuk administrasi jangan difikirkan karena
dari kemarin ustad Dedi telah mengurusnya atas permintaan Eny. Bagaimana Aan?
Aku jadi tambah bingung mendengar perkataan Pak
Rahmat yang mengibaratkan aku seperti Ali dan Fatimah. Tapi semua mengalir
begitu saja tanpa bias aku kendalikan. “ Langsung menikah Pak, tapi saya belum
menyiapkan apa-apa, dan untuk mas kawin bagaimana? Sambil ku melirik kearah
ustad Dedi.
Ya, sekarang saja nggak masalah. Cukup Islam kamu
dengan Allah dan Rasulullah sebagai pegangan kamu itu sudah cukup menjadi mas
kawin yang paling berharga.
Saat itu aku menjadi mengerti kenapa dari awal
kedatangan ku telah ramai, dan aku pun jadi mengerti ternyata ukh Eny pun
menyimpan rasanya pada ku dengan suci. Sikap acuh dan cueknya selama ini
ternyata adalah benteng ketakwaanya agar tidak terasa murahan di hadapan Allah.
Ba’da ashar acara ijab Kabul pun di laksanakan.
Sebelumnya Pak Rahmat menelpon keluarga ku di kampung tentang kejadian ini agar
mereka di kampung tidak berfikiran aneh-aneh. Biasanya di kampung kalau ada
yang menikah dengan proses yang cepat terindikasi hal-hal negative. Semoga
dengan penjelasan dari pihak Ukh Eny semua menjadi lancar.
Semua berlalu begitu cepat serasa mimpi, aku
mencoba mencubit pipi ku, tapi terasa sakit. Dan ternyata benar ini bukan
mimpi. Aku bersyukur tiada henti pada Allah, hari ini aku telah di halalkan
dengan bidadari yang selama ini bersemayam dengan anggunnya di hati ku. Malam
ini bukan lagi ku panggil dia Ukh eny. Tapi ku panggil dia dengan panggilan
kemesraan. Aku memanggilnya adek, dan dia memanggil ku Mas. Subhanallah
indahnya… malam ini ku perlakukan dia seperti tuntunan Rasulullah. Kami memulai
biduk rumah tangga ini dengan tuntunan bersujud memohon ridho dan berkah pada
Allah.
Keseokan harinya aku pulang ke warnet. Belum ada
yang tahu kalau aku telah menikah. Yang mereka tahu kemaren aku izin untuk
Mabit dengan teman-teman liqo. Sampai di warnet, aku bertemu dengan dibyo yang
sedang murung.
“ Gimana
Dib,lama aku tak mendengarmu menyebut nama Annisa,katanya cinta “ kataku
memulai pembicaraan.
“ Enggak tahu deh An,jawab dibyo denga lesu.
“ Dia itu seorang muslimah Dib,aku yakin dia enggak
pernah kepikiran pacaran. Kepastian dia Cuma kamu dating ke rumahnya untuk
melamar. Aku yakin kamu akan mendapatkan kepastian. Kalo kamu masih enggak mau
juga,buat aku saja yaa “ aku mencoba menggodanya.
Di sela obrolan ku dengan dibyo, tiba-tiba ada sms.
Ternyata ada sms dari istri ku. “sayang udah sampe warnet? Kok nggak sms aku.
Aku kangen tahu..
Aku hanya tersenyum melihat sms dari istri ku yang terasa
begitu manja. Segera aku balas karena tak ingin membuat nya kawatir
“ Kenapa kamu Dib ?? “ aku mengerenyitkan
dahi,melihat muka Dibyo lesu. Tak ketinggalan Ari pun ikut nimbrung dan
menanyai dia. Knp bro.,.bingung ngurusin kulyah?
“ Annisa akan menikah bulan depan, aku di beri tahu
sahabat karibnya “ Dibyo melangkahkan kakinya menuju tempat tidur,lalu menutup
kepalanya dengan selimut.
Aku membuka bantalnya,melihat Dibyo menangis. Tak
ada salahnya seorang laki-laki menangis,toh dia juga manusia biasa yang
mempunya fitrah dengan sebuah perasaan yang membebaninya.
“ Terus kenapa kamu menangis “ aku mencoba
mendekatinya.
“ Aku kecewa An, aku sudah lama ngejar-ngejar dia.
Masa ada cowok yang baru dateng minggu kemaren ke rumahnya,udah dia terima aja
jadi calon suaminya
“ Emang calon suaminya salah ya kalo mau ngelamar
Annisa ??”
“ Ya enggak An, tapi kan, secara gitu.,. aku duluan
yang suka sama Annisa,dan dia kan datangnya belakangan “ aku agak senyum
mendengar jawabanya yang terasa lucu bagi ku.
“ Hey sob,Siapa yang suka duluan atau yang suka
belakangan itu enggak di perhitungkan akh. Kalo siapa yang duluan ngelamar,itu
baru perlu di pertimbangkan secara matang. Ini dari dulu di suruh ngelamar, enggak
berani, sekarang udah di lamar orang lain,kamu malah galau begini. Emangnya dia
di suruh nugguin ketidak pastianmu dari kamu apa? “ Kataku mencoba menjelaskan
padanya.
“ Bukan Cuma itu An, yang aku tidak tahu, ternyata dia
juga suka sama aku. Aku tahu itu semua dari sahabatnya Annisa, karena aku
ngajak pacaran mulu,makanya dia enggak mau sama aku. Aku baru tahu kalo dia
sedang nunggu aku, Cuma karna dia seorang muslimah dia benar-benar menjaga
kehormatannya…aaahhhh…aku nyesel An. Seperti mau kiamat rasanya. “ dia kembali
menutupkan wajahnya pada selimut.
“ Wah.,bahaya tuh kalau kamu sampe bilang begitu. Nyesel
memang selalu datang terlambat ya,” kata
Ari yang sedari tadi hanya diam merespon tingkahnya dibyo.
“Kalaau datangnya duluan namanya bukan penyesalan,
tapi merencanakan untuk nyesel”,Aku mencoba mencairkan suasana. Tapi tetap saja
tangisnya tambah menjadi-jadi.
Yah.,memang penyesalan selalu datang belakangan.
Aku jadi tidak berani menceritakan tentang kisah ku ynag telah menikah pada Ari
dan Dibyo karena takut menambah luka perih si Dibyo. Aku tak ingin merasakan
bahagia sedangkan teman ku sedang mengalami keterpurukan. Semoga dapat di ambil
ibrahnya.
No comments:
Post a Comment
assalamualaikum