Segala puji bagi Alloh Ta’ala, sholawat dan salam
senantiasa tercurahkan kepada junjungan dan qudwah kita Muhammad bin
Abdillah, segenap keluarga dan shahabat beliau serta orang-orang yang
selalu istiqomah dan komitmen terhadap jejak dan jalan beliau sampai
hari kiamat.
Dan sungguh Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan
dalam beberapa sabda beliau, baik yang tertulis dalam Sunan, Musnad dan
ash-Shihah yang menunjukkan diharamkannya gambar makhluk yang bernyawa,
baik berwujud manusia atau selainnya. Sehingga kita dianjurkan dan
diperintahkan untuk memusnahkan gambar-gambar tersebut bahkan para
tukang gambarnya mendapatkan laknat dan mereka termasuk seberat-berat
manusia yang akan mendapatkan siksa pada hari kiamat kelak.
Namun gambar dalam pengertian pada kitab-kitab hadits tersebut,
adalah gambar dalam makna melukis dengan tangan, sehingga gambar dalam
makna fotografi yang berkembang saat ini, menjadi hal yang
diperselisihkan.
Dan untuk lebih jelasnya, dalam rubik ini akan kami paparkan
permasalahan ini secara terperinci berkaitan tentang hakikat dan hukum
gambar yang sebenarnya (yang diharamkan dan yang diperbolehkan)
berdasarkan dalil-dalil yang shohih berikut pendapat sebagian Ulama
tentang masalah ini. Insya Alloh .
HAKIKAT GAMBAR
Pada hakikatnya menggambar itu terbagi menjadi dua bentuk:
Gambar dengan tangan (melukis), yaitu seseorang dengan keahlian tangan
dan inspirasinya menggambar atau melukis dengan memakai alat-alat lukis,
baik yang dilukisnya itu dalam bentuk makhluk hidup yang bernyawa
ataupun selainnya.
Gambar dengan alat ( fotografi/kamera ), yaitu seseorang dengan memakai
kecanggihan tehnologi (kamera) memindahkan media yang dinginkan menjadi
sebuah gambar, baik media tersebut dalam bentuk makhluk hidup bernyawa
atau selainnya.
HUKUM GAMBAR
Sebelum kita bahas tentang hukum gambar sebenarnya dalam timbangan
syara’, maka perlu diketahui dan dipahami bahwa gambar berdasarkan
hukumnya bisa terbagi menjadi dua bagian.
Gambar yang tidak bernyawa
Seperti gunung, sungai, matahari, bulan dan pepohonan atau benda mati
yang lain. Maka yang demikian tidak terlarang menurut mayoritas Ulama,
meskipun ada yang berpendapat tidak bolehnya menggambar sesuatu yang
berbuah dan tumbuh seperti pohon, tumbuh-tumbuhan dan semacamnya, namun
pendapat ini lemah.
Gambar yang bernyawa
Menggambar semacam ini terbagi menjadi dua bentuk:
Menggambar dengan tangan (melukis), maka yang seperti
ini terlarang dan hukumnya haram. Dan perbuatan yang demikian termasuk
salah satu dari dosa-dosa besar. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
Shollallohu ‘alaihi wa sallam yang telah memberikan peringatan dan
ancaman keras sebagaimana yang terdapat dalam beberapa hadits di bawah
ini :
1. Riwayat Ibnu Abbas: Artinya, “Setiap pelukis berada dalam neraka,
dijadikan kepadanya setiap apa yang dilukis/digambar bernyawa dan
mengadzabnya dalam neraka Jahannam.” (H.R Muslim)
.
.
2. Riwayat Abu Khudzaifah: Bahwa Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah
melaknat orang yang makan riba, dan orang yang memberi makan dari riba,
dan orang yang bertato, dan yang minta ditato, dan pelukis/tukang
gambar.” (H.R Bukhori )
3. Riwayat ‘Aisyah: Bahwa Rosululloh Shollallohu alaihi wa sallam bersabda, “Seberat-berat manusia yang teradzab pada hari kiamat adalah orang-orang yang ingin menyerupai ciptaan Alloh.” ( H.R Bukhori dan Muslim ).
4. Riwayat Abu Huroiroh, beliau mendengar Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya
Alloh Ta’ala berfirman: Dan siapa yang lebih celaka daripada orang yang
menciptakan ciptaan seperti ciptaan-Ku, maka hendaklah mereka ciptakan
sebutir jagung, biji-bijian dan gandum (pada hari kiamat kelak).” (H.R Bukhori dan Muslim)
Dan menggambar (melukis) yang dimaksud pada beberapa hadits di atas
adalah menggambar dengan tangan, yaitu seseorang dengan keahlian dan
inspirasinya serta imajinasinya memindahkan sebuah gambar ke dalam
kanvas dengan tangannya sampai kemudian sempurna menyerupai ciptaan
Alloh Ta’ala, karena dia berusaha memulai sebagaimana Alloh Ta’ala
memulai, dan menciptakan sebagaimana Alloh Ta’ala menciptakan. Dan
meskipun tidak ada niatan sebagai upaya penyerupaan, namun suatu hukum
akan berlaku apabila tergantung atas sifatnya. Maka manakala terdapat
sifat, terdapat pula hukum, dan seorang pelukis gambar apabila
melukis/menggambar sesuatu maka penyerupaan itu ada (terjadi) walaupun
tidak diniatkan.
Dan seorang pelukis pada umumnya tidak akan bisa terlepas dari apa yang diniatkan sebagai penyerupaan, dan ketika apa yang digambar itu hasilnya lebih baik dan memuaskan maka seorang pelukis akan bangga dengannya. Dan penyerupaan akan terjadi hanya dengan apa yang dia gambar, baik dikehendakinya atau tidak. Karena itulah ketika seseorang melakukan perbuatan yang menyerupai perbuatan orang lain, maka kita akan berkata: “Sesungguhnya perbuatan ini menyerupai perbuatan itu, walaupun yang melakukan tidak bermaksud menyerupai.“
Dan seorang pelukis pada umumnya tidak akan bisa terlepas dari apa yang diniatkan sebagai penyerupaan, dan ketika apa yang digambar itu hasilnya lebih baik dan memuaskan maka seorang pelukis akan bangga dengannya. Dan penyerupaan akan terjadi hanya dengan apa yang dia gambar, baik dikehendakinya atau tidak. Karena itulah ketika seseorang melakukan perbuatan yang menyerupai perbuatan orang lain, maka kita akan berkata: “Sesungguhnya perbuatan ini menyerupai perbuatan itu, walaupun yang melakukan tidak bermaksud menyerupai.“
Menggambar dengan menggunakan selain tangan, seperti
menggambar dengan kamera (fotografi), yang dengannya sesuatu ciptaan
Alloh Ta’ala bisa berubah menjadi sebuah gambar, dan orang yang
melakukannya tanpa melakukan sesuatu kecuali mengaktifkan alat kamera
tersebut yang kemudian menghasilkan sebuah gambar pada sebuah kertas.
Maka bentuk menggambar semacam ini, di dalamnya terdapat permasalahan
diantara para Ulama’, karena yang demikian tidak pernah ada dan terjadi
pada jaman Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam, khulafa’ur
Rosyidin, dan Ulama terdahulu dari kalangan as-Salaf. Sehinga Ulama
setelah mereka berbeda pendapat dalam menyikapinya:
1. Sebagian dari mereka mengatakan tidak boleh, dan hal ini
sebagaimana menggambar dengan tangan berdasarkan keumuman lafadz (secara
uruf/kebiasaan).
2. Sebagian dari mereka membolehkan, karena secara makna bahwa mengambar
dengan memakai alat kamera tidak seperti perbuatan pelukis yang
dengannya ada penyerupaan terhadap ciptaan Alloh Ta’ala.
Dan pendapat yang mengatakan
diharamkannya menggambar dengan memakai alat kamera lebih berhati-hati, sementara pendapat yang mengatakan halalnya lebih sesuai dengan kaidah yang ada. Akan tetapi mereka yang mengatakan halal ini mensyaratkan agar gambar yang dihasilkan tidak merupakan perkara yang haram seperti gambar wanita (bukan mahrom), atau gambar seseorang dengan maksud untuk digantungkan dalam kamar untuk mengingatnya (sebagai pajangan), atau gambar yang tersimpan dalam album untuk dinikmati dan diingat. Maka yang demikian haram hukumnya karena mengambil gambar dengan alat kamera dan menikmatinya dengan maksud selain untuk dihina dan dilecehkan haram menurut sebagian besar Ulama sebagaimana yang demikian telah dijelaskan dalam as-Sunnah as-Shohihah.
diharamkannya menggambar dengan memakai alat kamera lebih berhati-hati, sementara pendapat yang mengatakan halalnya lebih sesuai dengan kaidah yang ada. Akan tetapi mereka yang mengatakan halal ini mensyaratkan agar gambar yang dihasilkan tidak merupakan perkara yang haram seperti gambar wanita (bukan mahrom), atau gambar seseorang dengan maksud untuk digantungkan dalam kamar untuk mengingatnya (sebagai pajangan), atau gambar yang tersimpan dalam album untuk dinikmati dan diingat. Maka yang demikian haram hukumnya karena mengambil gambar dengan alat kamera dan menikmatinya dengan maksud selain untuk dihina dan dilecehkan haram menurut sebagian besar Ulama sebagaimana yang demikian telah dijelaskan dalam as-Sunnah as-Shohihah.
Adapun terhadap gambar (foto) yang digunakan untuk tujuan dan
kepentingan tertentu, seperti foto untuk KTP, paspor, STNK, dan kegiatan
yang dengannya diminta sebagai bukti kegiatan maka yang demikian
tidaklah terlarang.
Sementara foto kenangan, seperti pernikahan, dan acara-acara
selainnya yang dengannya untuk dinikmati tanpa ada kepentingan yang
jelas maka hukumnya haram. Sebagaimana sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa
sallam saat menjelaskan bahwa para malaikat tidak akan masuk rumah yang
di dalamnya ada gambar. Dan bagi siapa saja yang memiliki foto-foto
demikian agar memusnahkannya, sehingga kita tidak berdosa lantaran
foto-foto tersebut.
Dan tidak ada perbedaan, apakah gambar tersebut memiliki bayangan
(berbentuk) atau tidak, sebagaimana tidak ada perbedaan apakah
menggambarnya dalam rangka untuk main-main, atau menggambarnya di papan
tulis untuk menjelaskan makna sesuatu agar mudah dipahami oleh siswa,
dan yang demikian maka seorang guru tidak boleh menggambar di papan
tulis gambar manusia ataupun hewan.
Namun dalam keadaan terpaksa, seorang guru boleh menggambar bagian
dari tubuh seseorang, seperti kaki kemudian menjelaskannya dan setelah
itu menghapusnya, dan kemudian menggambar tangan, atau kepala
sebagaimana cara di atas. Maka yang demikian tidak terlarang.
HUKUM MELIHAT GAMBAR
Adapun hukum melihat gambar yang terdapat dalam majalah, koran,
televisi (termasuk internet karena pada dasarnya dapat disebut majalah
elektronik) secara terperinci sebagai berikut:
1. Gambar Manusia
Jika yang dilihat gambar manusia dengan maksud untuk kenikmatan dan
kepuasan maka yang demikian haram hukumnya, dan jika bukan dalam rangka
itu yang dengan melihatnya tidak dengan tujuan kepuasaan atau
kenikmatan, hati dan syahwatnya tidak tergerak karena hal itu, maka
tidak apa-apa. Dan hal inipun dengan syarat terhadap mereka yang halal
untuk dilihat, seperti laki-laki melihat laki-laki, dan wanita melihat
wanita menurut pendapat yang kuat hal ini tidak terlarang dengan syarat
sesuai dengan kebutuhan (seperlunya) alias bukan semata karena
menginginkan gambar itu.
Dan jika yang dilihat adalah mereka yang tidak halal untuk dilihat,
seperti laki-laki melihat wanita (bukan mahrom), maka hukum tentang hal
ini masih samar dan meragukan namun pendapat yang berhati-hati adalah
tidak melihatnya karena khawatir terjadi fitnah Sebagaimana sabda
Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Ibnu
Mas’ud Rodhiallohu anhu :“Janganlah seorang wanita tidur bersama dalam
satu selimut (bersentuhan tubuh) dengan wanita yang lain sehingga dia
membeberkan sifatnya kepada suaminya seolah-olah melihat wanita
tersebut.“ (HR.Bukhori ).
Dan membeberkan sifat sesuatu melalui gambar (bentuk tubuh) lebih
mengena daripada dengan sekedar membeberkan sifat saja. Dan menjauhi
dari setiap perantara fitnah merupakan perkara yang harus dilakukan.
Catatan:
Untuk menghindari kesalahpahaman seakan laki-laki boleh melihat gambar sekalipun gambar wanita asing, maka hal ini perlu dirinci lebih lanjut, yaitu:
Jika yang dilihat adalah wanita tertentu (secara khusus/pribadi karena sudah dikenal atau diidolakan) dengan tujuan menikmati dan untuk kepuasan syahwat, maka hukumnya haram karena ketika itu jiwanya sudah tertarik padanya dan terus memandang, bahkan bisa menimbulkan fitnah besar. Dan jika tidak demikian, dalam artian hanya sekedar melihat tanpa ada perasaan apa-apa (numpang lewat saja) dan tidak membuatnya mengamat-amati, maka pengharaman terhadap hal seperti ini perlu diberi catatan dulu, karena menyamakan melihat sekilas dengan melihat secara hakiki tidaklah tepat karena adanya perbedaan dari keduanya amat besar, akan tetapi sikap yang utama adalah menghindari karena hal itu menuntun seseorang untuk meilihat dan selanjutnya mengamat-amati, kemudian menikmati dengan syahwat, oleh karena itulah Rosululloh melarang hal itu sebagaimana hadits (artinya),
“Janganlah seorang wanita tidur bersama dengan wanita yang lain dalam satu selimut (bersentuhan tubuh) sehingga dia membeberkan sifatnya kepada suaminya seolah-olah melihat wanita tersebut.“ (H.R. Bukhari ). Sedangkan bila terhadap bukan wanita tertentu (tidak bersifat khusus/pribadi dan pada asalnya tidak mengenalnya), maka tidak apa-apa melihatnya bila tidak khawatir terjerumus ke dalam larangan syari’at.
2. Gambar selain manusia, maka tidak apa-apa melihatnya selama ia tidak bermaksud untuk memilikinya.
PENUTUP
Dari penjelasan di atas, kita berharap permasalahan yang ada menjadi
jelas. Semoga Alloh Ta’ala senantiasa memberikan hidayah dan taufiq
kepada kita semua. Wallohu a’lam bish showab.
(Disarikan dari Majmû’ Fatâwa Wa Rasâ`il Syaikh Muhammad Bin Sholih al-Utsaimîn, oleh Fahd Bin Nâshir Bin Ibrohim as-Sulaiman)
Berkata Syeikh Bin Baz:
ولأن النبي صلى الله عليه وسلم أخبر أن الصورة إذا قطع رأسها كان باقيها
كهيئة الشجرة ، وذلك يدل على أن المسوغ لبقائها خروجها عن شكل ذوات
الأرواح ومشابهتها للجمادات ، والصورة إذا قطع أسفلها وبقي رأسها لم تكن
بهذه المثا…بة لبقاء الوجه ، ولأن في الوجه من بديع الخلقة والتصوير ما ليس
في بقية البدن ، فلا يجوز قياس غيره عليه عند من عقل عن الله ورسوله مراده
. وبذلك يتبين لطالب الحق أن تصوير الرأس وما يليه من الحيوان داخل في
التحريم والمنع؛ لأن الأحاديث الصحيحة المتقدمة تعمه
“Dan juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa gambar kalau dipotong kepalanya maka sisanya seperti bentuk pohon, ini menunjukkan bahwa alasan kenapa diperbolehkan adalah karena dia bukan lagi berbentuk mahluk yang bernyawa. Dan dia lebih serupa dengan mahluk mati. Dan gambar kalau dipotong bawahnya kemudian tersisa kepalanya maka jadinya bukan seperti itu (tidak berganti menjadi bentuk mahluk mati), dan juga wajah ini di dalamnya ada keindahan penciptaan dan gambar yang tidak ada di anggota badan yang lain. Maka tidak boleh anggota badan diqiyaskan kepada kepala bagi orang yang memahami maksud Allah dan rasulNya. Dengan demikian jelas bagi pencari kebenaran bahwa menggambar kepala mahluk hidup adalah terlarang karena keumuman hadits-hadits yang shahih” (Majmu’ Fatawa Syeikh Bin Baz 4/219).
Berkata Syeikh Al-Albany rahimahullah:
((أن قوله ” حتى تصير كهيئة الشجرة ” ، دليل على أن التغيير الذي يحل به استعمال الصورة ، إنما هو الذي يأتي على معالم الصورة ، فيغيرها حتى تصير على هيئة أخرى مباحة كالشجرة . و عليه فلا يجوز استعمال الصورة و لو كانت بحيث لا تعيش لو كانت حية كما يقول بعض الفقهاء ، لأنها في هذه الحالة لا تزال صورة اسما و حقيقة ، مثل الصور النصفية ، و أمثالها))
“ٍٍٍSesungguhnya ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sampai menjadi bentuk pohon” dalil bahwasanya perubahan yang membolehkan penggunaan gambar adalah perubahan pada tanda-tanda (yang menjadikan) gambar (itu hidup) , sehingga menjadi bentuk lain yang diperbolehkan seperti pohon, oleh karenanya tidak boleh menggunakan gambar (mahluk bernyawa) meskipun dia tidak mungkin hidup dengan cara seperti itu, karena dalam keadaan seperti ini dia masih gambar mahluk bernyawa baik nama maupun hakikatnya, seperti foto setengah badan dan yang semisalnya” (Silsilah Al-Ahadist Ash-Shahihah 1/693)
“Dan juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa gambar kalau dipotong kepalanya maka sisanya seperti bentuk pohon, ini menunjukkan bahwa alasan kenapa diperbolehkan adalah karena dia bukan lagi berbentuk mahluk yang bernyawa. Dan dia lebih serupa dengan mahluk mati. Dan gambar kalau dipotong bawahnya kemudian tersisa kepalanya maka jadinya bukan seperti itu (tidak berganti menjadi bentuk mahluk mati), dan juga wajah ini di dalamnya ada keindahan penciptaan dan gambar yang tidak ada di anggota badan yang lain. Maka tidak boleh anggota badan diqiyaskan kepada kepala bagi orang yang memahami maksud Allah dan rasulNya. Dengan demikian jelas bagi pencari kebenaran bahwa menggambar kepala mahluk hidup adalah terlarang karena keumuman hadits-hadits yang shahih” (Majmu’ Fatawa Syeikh Bin Baz 4/219).
Berkata Syeikh Al-Albany rahimahullah:
((أن قوله ” حتى تصير كهيئة الشجرة ” ، دليل على أن التغيير الذي يحل به استعمال الصورة ، إنما هو الذي يأتي على معالم الصورة ، فيغيرها حتى تصير على هيئة أخرى مباحة كالشجرة . و عليه فلا يجوز استعمال الصورة و لو كانت بحيث لا تعيش لو كانت حية كما يقول بعض الفقهاء ، لأنها في هذه الحالة لا تزال صورة اسما و حقيقة ، مثل الصور النصفية ، و أمثالها))
“ٍٍٍSesungguhnya ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sampai menjadi bentuk pohon” dalil bahwasanya perubahan yang membolehkan penggunaan gambar adalah perubahan pada tanda-tanda (yang menjadikan) gambar (itu hidup) , sehingga menjadi bentuk lain yang diperbolehkan seperti pohon, oleh karenanya tidak boleh menggunakan gambar (mahluk bernyawa) meskipun dia tidak mungkin hidup dengan cara seperti itu, karena dalam keadaan seperti ini dia masih gambar mahluk bernyawa baik nama maupun hakikatnya, seperti foto setengah badan dan yang semisalnya” (Silsilah Al-Ahadist Ash-Shahihah 1/693)
Tambahan :
[sumber: http://rumaysho.com]
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Dalam berbagai hadits dilarang bagi kita untuk memajang gambar
makhluk bernyawa. Gambar yang terlarang dibawa ini adalah gambar manusia
atau hewan, bukan gambar batu, pohon dan gambar lainnya yang tidak
memiliki ruh. Jika gambar tersebut memiliki kepala, maka diperintahkan
untuk dihapus. Karena kepala itu adalah intinya sehingga gambar itu bisa
dikatakan memiliki ruh atau nyawa. Agar lebih jelas perhatikan terlebih
dahulu hadits-hadits yang menerangkan hal tersebut. Hanya Allah yang beri taufik.
Keterangan dari Berbagai Hadits [Lihat berbagai
hadits tentang hal ini di web Ustadz Abu Mu’awiyah:
http://al-atsariyyah.com/hadits-hadits-tentang-larangan-menggambar.html]
Dalam hadits muttafaqun ‘alaih disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ
”Para malaikat tidak akan masuk ke rumah yang terdapat gambar di dalamnya (yaitu gambar makhluk hidup bernyawa)” (HR. Bukhari 3224 dan Muslim no. 2106)
Hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dia berkata,
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنِ الصُّوَرِ فِي الْبَيْتِ وَنَهَى أَنْ يَصْنَعَ ذَلِكَ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang adanya gambar di dalam rumah dan beliau melarang untuk membuat gambar.” (HR. Tirmizi no. 1749 dan beliau berkata bahwa hadits ini hasan shahih)
Hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
أَنْ لاَ تَدَعْ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرَفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
“Jangan kamu membiarkan ada gambar kecuali kamu hapus dan tidak pula kubur yang ditinggikan kecuali engkau meratakannya.” (HR. Muslim no. 969) Dalam riwayat An-Nasai,
وَلَا صُورَةً فِي بَيْتٍ إِلَّا طَمَسْتَهَا
“Dan tidak pula gambar di dalam rumah kecuali kamu hapus.” (HR. An Nasai no. 2031. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dia berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَمَّا رَأَى الصُّوَرَ فِي الْبَيْتِ يَعْنِي الْكَعْبَةَ لَمْ يَدْخُلْ
وَأَمَرَ بِهَا فَمُحِيَتْ وَرَأَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ
عَلَيْهِمَا السَّلَام بِأَيْدِيهِمَا الْأَزْلَامُ فَقَالَ قَاتَلَهُمْ
اللَّهُ وَاللَّهِ مَا اسْتَقْسَمَا بِالْأَزْلَامِ قَطُّ
“Bahwa tatkala Nabi melihat gambar di (dinding) Ka’bah, beliau
tidak masuk ke dalamnya dan beliau memerintahkan agar semua gambar itu
dihapus. Beliau melihat gambar Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimas ssalam
tengah memegang anak panah (untuk mengundi nasib), maka beliau
bersabda, “Semoga Allah membinasakan mereka, demi Allah keduanya tidak
pernah mengundi nasib dengan anak panah sekalipun. “ (HR. Ahmad
1/365. Kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih
sesuai syarat Bukhari dan periwayatnya tsiqoh, termasuk perowi Bukhari
Muslim selain ‘Ikrimah yang hanya menjadi periwayat Bukhari)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
masuk ke rumahku sementara saya baru saja menutup rumahku dengan tirai
yang padanya terdapat gambar-gambar. Tatkala beliau melihatnya, maka
wajah beliau berubah (marah) lalu menarik menarik tirai tersebut sampai
putus. Lalu beliau bersabda,
إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُشَبِّهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ
“Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah mereka yang menyerupakan makhluk Allah.” (HR. Bukhari no. 5954 dan Muslim no. 2107 dan ini adalah lafazh Muslim). Dalam riwayat Muslim,
أَنَّهَا نَصَبَتْ سِتْرًا فِيهِ تَصَاوِيرُ
فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَنَزَعَهُ ، قَالَتْ :
فَقَطَعْتُهُ وِسَادَتَيْنِ
“Dia (Aisyah) memasang tirai yang padanya terdapat gambar-gambar,
maka Rasulullah masuk lalu mencabutnya. Dia berkata, “Maka saya
memotong tirai tersebut lalu saya membuat dua bantal darinya.”
Dari Ali radhiyallahu anhu, dia berkata,
صَنَعْتُ طَعَامًا فَدَعَوْتُ النَّبِيَّ صلى
الله عليه وسلم فَجَاءَ فَدَخَلَ فَرَأَى سِتْرًا فِيهِ تَصَاوِيرُ
فَخَرَجَ . وَقَالَ : إِنَّ الْمَلائِكَةَ لا تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ
تَصَاوِيرُ
“Saya membuat makanan lalu mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk datang. Ketika beliau datang dan masuk ke dalam rumah, beliau
melihat ada tirai yang bergambar, maka beliau segera keluar seraya
bersabda, “Sesungguhnya para malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah
yang di dalamnya ada gambar-gambar.” (HR. An-Nasai no. 5351. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata,
اسْتَأْذَنَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلام
عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : « ادْخُلْ » . فَقَالَ : «
كَيْفَ أَدْخُلُ وَفِي بَيْتِكَ سِتْرٌ فِيهِ تَصَاوِيرُ فَإِمَّا أَنْ
تُقْطَعَ رُؤوسُهَا أَوْ تُجْعَلَ بِسَاطًا يُوطَأُ فَإِنَّا مَعْشَرَ
الْمَلائِكَةِ لا نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ تَصَاوِيرُ
“Jibril ‘alaihis salam
meminta izin kepada Nabi maka Nabi bersabda, “Masuklah.” Lalu Jibril
menjawab, “Bagaimana saya mau masuk sementara di dalam rumahmu ada tirai
yang bergambar. Sebaiknya kamu menghilangkan bagian kepala-kepalanya
atau kamu menjadikannya sebagai alas yang dipakai berbaring, karena kami
para malaikat tidak masuk rumah yang di dalamnya terdapat
gambar-gambar.” (HR. An-Nasai no. 5365. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Pelajaran:
Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas,
menunjukkan bahwa yang dimaksud gambar yang terlarang dipajang adalah
gambar makhluk bernyawa (yang memiliki ruh) yaitu manusia dan hewan,
tidak termasuk tumbuhan. Sisi pendalilannya bahwa Jibril menganjurkan
agar bagian kepala dari gambar tersebut dihilangkan, barulah beliau akan
masuk ke dalam rumah. Ini menunjukkan larangan hanya berlaku pada
gambar yang bernyawa karena gambar orang tanpa kepala tidaklah bisa
dikatakan bernyawa lagi.
Dalam hadits lain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
اَلصُّوْرَةٌ الرَّأْسُ ، فَإِذَا قُطِعَ فَلاَ صُوْرَةٌ
“Gambar itu adalah kepala, jika kepalanya dihilangkan maka tidak lagi disebut gambar.” (HR. Al-Baihaqi 7/270. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 1921)
Menghapus Gambar Makhluk Bernyawa
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Bisakah engkau jelaskan mengenai jenis gambar yang mesti dihapus?”
Syaikh rahimahullah menjawab, “Gambar yang mesti dihapus
adalah setiap gambar manusia atau hewan. Yang wajib dihapus adalah
wajahnya saja. Jadi cukup menghapus wajahnya walaupun badannya masih
tersisa. Sedangkan gambar pohon, batu, gunung, matahari, bulan dan
bintang, maka ini gambar yang tidak mengapa dan tidak wajib dihapus.
Adapun untuk gambar mata saja atau wajah saja (tanpa ada panca indera,
pen), maka ini tidaklah mengapa, karena seperti itu bukanlah gambar dan
hanya bagian dari gambar, bukan gambar secara hakiki.” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 35)
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan dalam kesempatan yang lain bahwa gambar makhluk bernyawa boleh dibawa
jika darurat. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya, “Dalam majelis sebelumnya,
engkau katakan bahwa boleh membawa gambar dengan alasan darurat. Mohon
dijelaskan apa yang jadi kaedah dikatakan darurat?”
Syaikh rahimahullah menjawab, “Darurat yang dimaksud adalah semisal
gambar yang ada pada mata uang atau memang gambar tersebut adalah gambar
ikutan yang tidak bisa tidak harus turut serta dibawa atau keringanan
dalam qiyadah (pimpinan). Ini adalah di antara kondisi darurat yang
dibolehkan. Orang pun tidak punya keinginan khusus dengan gambar-gambar
tersebut dan di hatinya pun tidak maksud mengagungkan gambar itu. Bahkan
gambar raja yang ada di mata uang, tidak seorang pun yang punya maksud
mengagungkan gambar itu.” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 33)
Penjelasan hukum dalam tulisan di atas semata-mata berdasarkan dalil dari sabda Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan atas dasar logika
semata. Semoga Allah menganugerahkan sifat takwa sehingga bisa menjauhi
setiap larangan dan mudah dalam melakukan kebaikan. Wallahu waliyyut taufiq.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
No comments:
Post a Comment
assalamualaikum